Senin, 31 Desember 2012

DIA BUKAN BENCANA

Pijakannya yang tandus, selalu terobati oleh tangisan mega. Tidak ada sela yang tidak menerima walau hanya satu tetes saja. Berkumpul serempak membentuk cekungan menuju ke bawah. Padahal di bawah sana ada secerca jiwa kedua yang setiap saat terancam oleh kekompakan tangisan mega itu. Januari, merupakan klimaksnya tangisan itu. Setiap saat menghujam ke penjuru tanah, tak kecuali tanah kediaman Dion di desa Argo Mulyo. Selasa siang, mentari masih malu menunjukkan keceriaannya. Padahal dia harus menghadiri resepsi pernikahan sahabat karibnya, si Adit. Bukan sekedar sahabat, dia menganggapnya sudah seperti saudara sendiri.
“Wah hari ini sahabatku melangsungkan resepsi pernikahan. Tapi kok..?” Dion bergumam sendiri dan menadahkan wajahnya ke langit hitam. Di segala arah hanya ada awan mendung yang mengikis sepertiga niat Dion untuk menghadiri resepsi tersebut. Tetapi dia tak mengurungkan niatnya untuk tidak datang ke resepsi tersebut. Demi sahabat, mendung bukan berarti portal yang menjadi halangan untuk berjumpa dengannya. Tak lama kemudian, terdengar suara ‘biuuurr’ dari atap rumah depan menyebar hingga ke seluruh rumah. Hujan meluncur tanpa ampun menggenangi tanah Argo Mulyo. Kemudian dia minta izin kepada ibunya untuk berangkat ke resepsi.
“Bu, saya mau ke resepsinya si Adit. Sepertinya sudah dimulai. Pamit dulu ya Bu?” izin seorang anak kepada ibu tercinta. Diraihnya tangan yang suci itu dan segera ia menciumnya. Tanda bakti seorang anak kepada orang tua. Ibunya khawatir karena cuaca tidak bersahabat itu, Dion tetap kekeh untuk pergi. Dengan hati yang penuh dengan cemas, ibunya memberikan izin kepada Dion untuk pergi.
“Hati-hati ya nak, Ibu hanya bisa mendoakanmu supaya selamat sampai tujuan. Sampaikanlah salam Ibu buat Adit. Maaf Ibu tidak bisa menghadiri resepsinya.” Suara yang lembut terlontar menuju indera pendengaran Dion. Ibunya melepaskan kepergiannya tapi tidak akan melepaskan doanya sebagai pengiring diperjalanan.
“Terimakasih Bu. Salam Ibu akan saya sampaikan kepada Adit.” Kata Dion dengan lembut sambil bersiap-siap untuk berangkat. Dian berjalan menuju jalan raya tidak jah dari rumahnya. Rumahnya yang dekat dengan jalan, sehingga tidak sulit untuk mencari kendaraan menuju acara resepsi tersebut. Kebetulan dia terlahir di tengah keluarga yang sederhana, sehingga dia belum punya kendaraan sendiri. Ayahnya sudah pensiun menjadi guru. Ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga biasa. Di tengah hujan badai yang semakin ganas, dia menunggu angkutan berikutnya yang sebentar lagi akan datang. Di kejauhan mata ada sorot lampu yang menandakan angkutan akan tiba. Tetapi dugaannya meleset, hanya mobil biasa yang lewat. Mobil itu melaju cukup kencang. Mengira bahwa mobil itu adalah angkutan, ia berdiri tepat di samping jalan yang tergenang air dan lumpur. Tepat di hadapannya, mobil itu menginjak genangan tersebut. Seketika itu juga air dan lumpur terbang mendarat tepat di baju Dion yang halus rapi. Terdengar bunyi “crott” yang menandakan bahwa semprotannya lumayan deras dan banyak. Keadaan bajunya tak kalah dengan lap motor.
“Ya Allah, kenapa mesti hujan segala. Lihat ini hasilnya dari hujanmu itu. Bukannya sampai ke resepsi malah kacau. Dia sahabat terbaikku. Aku tak akan mungkin tidak datang ke pestanya. Tapi karna hujanmu itu, semuanya berantakan. Haaaaaaaaaa..” Dion berteriak kesal seakan-akan hujanlah yang salah. Dia teramat sangat kecewa tidak bisa menghadiri resepsi itu. Tak lama kemudian dia membalikkan badan untuk menuju ke rumah. Dengan kepala menunduk, dia memendam amarah yang besar kepada hujan. Sesampainya di rumah, dia dijemput ibunya tepat di muka pintu.
“Bu, Dion tidak jadi ke resepsinya si Adit. Ibu lihat sendiri kan keadaanku saat ini? Semua karna hujan sialan itu yang membuat jadi berantakan. Dasar hujan pembawa sial!” kata Dion sambil meluapkan seluruh emosinya. Emosi Dion meledak-ledak seperti magma yang akan keluar dari perut bumi.
“Kamu jangan sepenuhnya menyalahkan hujan. Tak ada hujan kamu tak minum nak. Tak ada hujan kamu tak makan. Tak ada hujan tanahmu kering. Kamu mau?” Ibunya sedikit membentak setelah Dion terus-menerus emosi. Perlahan-lahan emosi Dion surut setelah ibunya mengatakan demikian.
“Nah daripada kamu suntuk seperti itu, mendingan kamu besok menghadiri pelatihan hypnosis. Kamu suka kan dengan dunia hypnosis? Besok acaranya siang pukul 13.00.” Tawaran Ibu yang sangat menggiurkan. Tanpa berpikir panjang Dion mengiyakan tawaran Ibunya. Begitu riangnya hati Dion setelah batalnya menghadiri resepsi sahabatnya.
Seraya kemarau tertimbun air, Dion begitu senang telah mendapatkan keinginannya. Sekalipun dia masih mempunyai rasa salah kepada Adit. Memang air mengalir melalui cekungan menuju bawah. Hal itu bukan kehendak, melainkan keadaan. Keadaan memang tidak bisa disalahkan dan tidak harus disesali. Dia sudah tak sabar menunggu sang fajar muncul di hari berikutnya. Malamnya dia tidak bisa tidur membayangkan acara yang akan diselenggarakan besok siang. Tetapi lama kelamaan dia tertidur pulas, dan mengantarkannya ke gerbang mimpi.
Tak terasa raungan ayam terdengar yang menandakan sang fajar akan muncul kepermukaan.
“Wah sudah pagi, tak berasa tadi tidurnya. Mana belum shalat shubuh lagi.” Kata Dion yang masih memerlukan setengah nyawanya untuk bangun dari tempat tidur. Dia beranjak dari tempat tidur dengan mata masih terpejam. Segeralah mengambil air wudlu dan bersiap-siap untuk menunaikan ibadah shalat shubuh. Sesudah itu, dia kembali ke kamarnya untuk menyiapkan segala sesuatunya nanti yang dipakai di pelatihan hypnosis.
“Buku sudah, alat tulis sudah. Sepertinya sudah semua.” Kejelihan Dion dalam mengecek barang bawaannya nanti. Sembari menunggu siang, Dion melakukan aktifitas lain agar waktu berjalan cepat. Rupanya dia sibuk browsing internet mencari tau apa khasiat hypnosis yang sebenarnya. Selang beberapa saat terdengar bunyi “laaap dueeerrr”. Rupanya suara petir yang sangat keras seperti menyambar pohon dekat rumahnya. Kemudian terdengar suara “tik, tik, tik, tik, biurr” bahwa hujan datang kembali. Memang hari masih pagi jadi Dion tidak terlalu was-was dengan hujan. Dia beranggapan bahwa hujannya akan reda sebelum acara dimulai. Ternyata waktu semakin sempit dan hujan tak kunjung reda. Dion semakin panik melihat hujan tak kunjung reda. Sampai pada waktunya, hujan malah semakin deras tak terkendali. Seperti biasa emosi menguasai diri Dion. Kemarahannya tak terbendung karena dua kali tidak bisa menghadiri acara yang begitu berarti baginya.
“Kenapa Tuhan tak adil? Kenapa Tuhan menciptakan hujan yang hanya mengacaukan jadwal seseorang saja. Mengapa saya tak bisa bahagia meskipun hanya satu hari saja? Mengapa?” kata Dion seraya menahan hujan di matanya. Dia menuju ke ruang tengah untuk menonton televisi sembari mengurangi rasa kecewanya kepada hujan. Dia ditemani ibunya yang dari tadi memperhatikan Dion saat gagal kembali menghadiri acara yang sangat dinanti. Salah satu stasiun TV swasta menayangkan breaking news yang isi beritanya tentang cuaca buruk yang melanda daerah sekitar tempat tinggal Dion. Ternyata gedung yang akan didatangi Dion untuk pelatihan hypnosis rubuh tertimpa pohon yang tertiup badai hujan. Banyak korban berjatuhan. Sebagian besar korban mengalami luka berat. Dion menonton berita itu disertai dera air mata. Ibunya menasehati Dion dengan bijak.
“Nak, sudah terbukti kan. Bahwa hujan tidak selalu membuat kesalahan. Bahkan sekarang hujanlah yang menyelamatkanmu dari bencana itu. Dia bukan bencana.” Kata Ibunya sambil mengelus kepala Dion. Seketika air mata Dion tak terbendung meratapi kesalahannya. Dia selalu menyalahkan hujan.
“Iya Bu saya salah. Tidak sepatutnya saya menyelahkan hujan. Hujanlah yang menyelamatkanku dari bencana itu.” Kata Dion sembari meratapi kesalahannya. Memang hujan selalu menjadi media untuk membuang segala kesal. Hujan selalu diidentikkan sebagai kesialan. Padahal dibalik kejamnya hujan masih terselip kebaikan yang senantiasa terlupakan. Hujan bukan suatu bencana. 

By: Muhammad Avivul Munthoha

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More