Pijakannya
yang tandus, selalu terobati oleh tangisan mega. Tidak ada sela yang
tidak menerima walau hanya satu tetes saja. Berkumpul serempak membentuk
cekungan menuju ke bawah. Padahal di bawah sana ada secerca jiwa kedua
yang setiap saat terancam oleh kekompakan tangisan mega itu. Januari,
merupakan klimaksnya tangisan itu. Setiap saat menghujam ke penjuru
tanah, tak kecuali tanah kediaman Dion di desa Argo Mulyo. Selasa siang,
mentari masih malu menunjukkan keceriaannya. Padahal dia harus
menghadiri resepsi pernikahan sahabat karibnya, si Adit. Bukan sekedar
sahabat, dia menganggapnya sudah seperti saudara sendiri.
“Wah hari ini sahabatku melangsungkan resepsi pernikahan. Tapi
kok..?” Dion bergumam sendiri dan menadahkan wajahnya ke langit hitam.
Di segala arah hanya ada awan mendung yang mengikis sepertiga niat Dion
untuk menghadiri resepsi tersebut. Tetapi dia tak mengurungkan niatnya
untuk tidak datang ke resepsi tersebut. Demi sahabat, mendung bukan
berarti portal yang menjadi halangan untuk berjumpa dengannya. Tak lama
kemudian, terdengar suara ‘biuuurr’ dari atap rumah depan menyebar
hingga ke seluruh rumah. Hujan meluncur tanpa ampun menggenangi tanah
Argo Mulyo. Kemudian dia minta izin kepada ibunya untuk berangkat ke
resepsi.
“Bu, saya mau ke resepsinya si Adit. Sepertinya sudah dimulai. Pamit
dulu ya Bu?” izin seorang anak kepada ibu tercinta. Diraihnya tangan
yang suci itu dan segera ia menciumnya. Tanda bakti seorang anak kepada
orang tua. Ibunya khawatir karena cuaca tidak bersahabat itu, Dion tetap
kekeh untuk pergi. Dengan hati yang penuh dengan cemas, ibunya
memberikan izin kepada Dion untuk pergi.
“Hati-hati ya nak, Ibu hanya bisa mendoakanmu supaya selamat sampai
tujuan. Sampaikanlah salam Ibu buat Adit. Maaf Ibu tidak bisa menghadiri
resepsinya.” Suara yang lembut terlontar menuju indera pendengaran
Dion. Ibunya melepaskan kepergiannya tapi tidak akan melepaskan doanya
sebagai pengiring diperjalanan.
“Terimakasih Bu. Salam Ibu akan saya sampaikan kepada Adit.” Kata
Dion dengan lembut sambil bersiap-siap untuk berangkat. Dian berjalan
menuju jalan raya tidak jah dari rumahnya. Rumahnya yang dekat dengan
jalan, sehingga tidak sulit untuk mencari kendaraan menuju acara resepsi
tersebut. Kebetulan dia terlahir di tengah keluarga yang sederhana,
sehingga dia belum punya kendaraan sendiri. Ayahnya sudah pensiun
menjadi guru. Ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga biasa. Di tengah
hujan badai yang semakin ganas, dia menunggu angkutan berikutnya yang
sebentar lagi akan datang. Di kejauhan mata ada sorot lampu yang
menandakan angkutan akan tiba. Tetapi dugaannya meleset, hanya mobil
biasa yang lewat. Mobil itu melaju cukup kencang. Mengira bahwa mobil
itu adalah angkutan, ia berdiri tepat di samping jalan yang tergenang
air dan lumpur. Tepat di hadapannya, mobil itu menginjak genangan
tersebut. Seketika itu juga air dan lumpur terbang mendarat tepat di
baju Dion yang halus rapi. Terdengar bunyi “crott” yang menandakan bahwa
semprotannya lumayan deras dan banyak. Keadaan bajunya tak kalah dengan
lap motor.
“Ya Allah, kenapa mesti hujan segala. Lihat ini hasilnya dari hujanmu
itu. Bukannya sampai ke resepsi malah kacau. Dia sahabat terbaikku. Aku
tak akan mungkin tidak datang ke pestanya. Tapi karna hujanmu itu,
semuanya berantakan. Haaaaaaaaaa..” Dion berteriak kesal seakan-akan
hujanlah yang salah. Dia teramat sangat kecewa tidak bisa menghadiri
resepsi itu. Tak lama kemudian dia membalikkan badan untuk menuju ke
rumah. Dengan kepala menunduk, dia memendam amarah yang besar kepada
hujan. Sesampainya di rumah, dia dijemput ibunya tepat di muka pintu.
“Bu, Dion tidak jadi ke resepsinya si Adit. Ibu lihat sendiri kan
keadaanku saat ini? Semua karna hujan sialan itu yang membuat jadi
berantakan. Dasar hujan pembawa sial!” kata Dion sambil meluapkan
seluruh emosinya. Emosi Dion meledak-ledak seperti magma yang akan
keluar dari perut bumi.
“Kamu jangan sepenuhnya menyalahkan hujan. Tak ada hujan kamu tak
minum nak. Tak ada hujan kamu tak makan. Tak ada hujan tanahmu kering.
Kamu mau?” Ibunya sedikit membentak setelah Dion terus-menerus emosi.
Perlahan-lahan emosi Dion surut setelah ibunya mengatakan demikian.
“Nah daripada kamu suntuk seperti itu, mendingan kamu besok
menghadiri pelatihan hypnosis. Kamu suka kan dengan dunia hypnosis?
Besok acaranya siang pukul 13.00.” Tawaran Ibu yang sangat menggiurkan.
Tanpa berpikir panjang Dion mengiyakan tawaran Ibunya. Begitu riangnya
hati Dion setelah batalnya menghadiri resepsi sahabatnya.
Seraya kemarau tertimbun air, Dion begitu senang telah mendapatkan
keinginannya. Sekalipun dia masih mempunyai rasa salah kepada Adit.
Memang air mengalir melalui cekungan menuju bawah. Hal itu bukan
kehendak, melainkan keadaan. Keadaan memang tidak bisa disalahkan dan
tidak harus disesali. Dia sudah tak sabar menunggu sang fajar muncul di
hari berikutnya. Malamnya dia tidak bisa tidur membayangkan acara yang
akan diselenggarakan besok siang. Tetapi lama kelamaan dia tertidur
pulas, dan mengantarkannya ke gerbang mimpi.
Tak terasa raungan ayam terdengar yang menandakan sang fajar akan muncul kepermukaan.
“Wah sudah pagi, tak berasa tadi tidurnya. Mana belum shalat shubuh
lagi.” Kata Dion yang masih memerlukan setengah nyawanya untuk bangun
dari tempat tidur. Dia beranjak dari tempat tidur dengan mata masih
terpejam. Segeralah mengambil air wudlu dan bersiap-siap untuk
menunaikan ibadah shalat shubuh. Sesudah itu, dia kembali ke kamarnya
untuk menyiapkan segala sesuatunya nanti yang dipakai di pelatihan
hypnosis.
“Buku sudah, alat tulis sudah. Sepertinya sudah semua.” Kejelihan
Dion dalam mengecek barang bawaannya nanti. Sembari menunggu siang, Dion
melakukan aktifitas lain agar waktu berjalan cepat. Rupanya dia sibuk
browsing internet mencari tau apa khasiat hypnosis yang sebenarnya.
Selang beberapa saat terdengar bunyi “laaap dueeerrr”. Rupanya suara
petir yang sangat keras seperti menyambar pohon dekat rumahnya. Kemudian
terdengar suara “tik, tik, tik, tik, biurr” bahwa hujan datang kembali.
Memang hari masih pagi jadi Dion tidak terlalu was-was dengan hujan.
Dia beranggapan bahwa hujannya akan reda sebelum acara dimulai. Ternyata
waktu semakin sempit dan hujan tak kunjung reda. Dion semakin panik
melihat hujan tak kunjung reda. Sampai pada waktunya, hujan malah
semakin deras tak terkendali. Seperti biasa emosi menguasai diri Dion.
Kemarahannya tak terbendung karena dua kali tidak bisa menghadiri acara
yang begitu berarti baginya.
“Kenapa Tuhan tak adil? Kenapa Tuhan menciptakan hujan yang hanya
mengacaukan jadwal seseorang saja. Mengapa saya tak bisa bahagia
meskipun hanya satu hari saja? Mengapa?” kata Dion seraya menahan hujan
di matanya. Dia menuju ke ruang tengah untuk menonton televisi sembari
mengurangi rasa kecewanya kepada hujan. Dia ditemani ibunya yang dari
tadi memperhatikan Dion saat gagal kembali menghadiri acara yang sangat
dinanti. Salah satu stasiun TV swasta menayangkan breaking news yang isi
beritanya tentang cuaca buruk yang melanda daerah sekitar tempat
tinggal Dion. Ternyata gedung yang akan didatangi Dion untuk pelatihan
hypnosis rubuh tertimpa pohon yang tertiup badai hujan. Banyak korban
berjatuhan. Sebagian besar korban mengalami luka berat. Dion menonton
berita itu disertai dera air mata. Ibunya menasehati Dion dengan bijak.
“Nak, sudah terbukti kan. Bahwa hujan tidak selalu membuat kesalahan.
Bahkan sekarang hujanlah yang menyelamatkanmu dari bencana itu. Dia
bukan bencana.” Kata Ibunya sambil mengelus kepala Dion. Seketika air
mata Dion tak terbendung meratapi kesalahannya. Dia selalu menyalahkan
hujan.
“Iya Bu saya salah. Tidak sepatutnya saya menyelahkan hujan. Hujanlah
yang menyelamatkanku dari bencana itu.” Kata Dion sembari meratapi
kesalahannya. Memang hujan selalu menjadi media untuk membuang segala
kesal. Hujan selalu diidentikkan sebagai kesialan. Padahal dibalik
kejamnya hujan masih terselip kebaikan yang senantiasa terlupakan. Hujan
bukan suatu bencana.
By: Muhammad Avivul Munthoha
0 komentar:
Posting Komentar